Terlalu Agresif Naikan Tarif Pelayanan Publik, Pemerintah Diminta Evalusi

jabarnetwork.com, Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta meminta pemerintah segera mengevaluasi kebijakan kenaikan beberapa tarif pelayanan publik yang baru diterapkan dan yang direncanakan akan naik pada 2020.

Tarif pelayanan publik yang naik dimaksud diantara; tarif jalan tol, iuran BPJS Kesehatan, parkir, Damri, tiket kereta api (KAI) dan listrik.

“Hendaknya kebijakan tarif pelayanan publik ini dapat dievaluasi kembali,” tutur Ketua HLKI Jawa Barat, Banten dan DKI Firman Turmantara, Bandung, Selasa (7/1/2020).

Menurut Firman, kenaikan tarif tersebut dinilai banyak merugikan masyarakat. Masyarakat dipaksa harus membayar atas kenaikan jasa pelayanan publik, dan ironisnya kenaikan tarif beberapa pelayanan publik pun secara langsung atau tidak langsung berdampak terkereknya ongkos transportasi barang dan jasa.

“Penetapan perubahan tarif baru, khususnya terkait layanan publik bagi konsumen merupakan musibah. Betapa tidak, layanan publik yang hanya diselenggarakan oleh pemerintah, “terpaksa” (dwang) harus dituruti oleh masyarakat/konsumen karena tidak ada pilihan lain dan ini dianggap sebagai “penyalahgunaan keadaan” (misbruik van omsteigheden),” kata dia.

Tarif Pelayanan Publik Naik Masyarakat Bisa Menggugat

Lebih lanjut Firman menjelaskan, langkah yang bisa dilakukan masyarakat yang merasa dirugikan atas kenaikan tarif pelayanan tersebut yaitu, mengajukan gugatan terhadap keputusan atau kebijakan pemerintah tersebut kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena UU ini merupakan hukum materiil dari sistem PTUN.

“Sebenarnya dalam rangka memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga masyarakat. Maka, UU No.30/2014 memungkinkan orang mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah,” jelas dia.

Gugatan atau class action atas kebijakan tersebut terang firman yakni, ketentuan yang dilanggar dalam penentuan kebijakan ini, mulai dari UUD 1945 sampai peraturan perundang-undangan. Detailnya, UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik.

“Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum,” terang dia.

Penyelenggaraan Pemerintahan sendiri pun kata Firman, telah diatur dengan sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU 30 Tahun 2014). UU ini menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada warga masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945.

“Berdasarkan ketentuan tersebut, warga masyarakat tidak boleh dijadikan objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan,” kata dia.

Melihat ketentuan di atas tambah Firman, kebijakan kenaikan tarif tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI yang memasukan perbuatan melawan hukum sebagai maladministrasi. Pasal 1 angka 3 menyebutkan, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

“UU lain yang dianggap terlanggar dengan kebijakan kenaikan tarif ini adalah UU tentang Perlindungan Konsumen; UU  tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN); UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU Tentang Hak Asasi Manusia,” ujar dia.

Kemudian, KUHPerdata (Psl.1320, 1339, 1365); UU Kesejahteraan Sosial; UU tentang Pelayanan Publik; UU tentang BPJS; UU tentang Jalan; UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan PP tentang Standar Pelayanan Minimal.

Selain itu, dengan diterimanya penafsiran luas tentang pengertian Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) negeri Belanda terhadap kasus Lindenbaum Versus Cohen, pengertian PMH tidak hanya meliputi perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dalam perundang-undangan yang berlaku tetapi termasuk juga perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat.

“Agar tidak dianggap sebagai Perbuatan melawan hukum oleh penguasa ( Onrechtmatige Overheids Daad). Setiap kebijakan pemerintah harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan serta Equality before the law (persamaan dihadapan hukum),”ujar dia.

Dilihat dari Kajian Akademis

Dalam kajian akademis, penggunakan layanan publik antara masyarakat dengan pemerintah, terdapat hubungan hukum baik berdasarkan perjanjian maupun undang-undang (vide Psl. 1233 KUHPdt).

Kebijakan penentuan tarif sepihak tersebut, yang tidak ada kesepakatan konsumen, dibawah tekanan atau paksaan dan penyalahgunaan keadaan, dianggap melanggar unsur subyektif dimana akibat hukumnya dapat dibatalkan, dan sekaligus melanggar unsur objektif (melanggar : kausa halal, uu, kebiasaan dan kepatutan) berakibat batal demi hukum karena mengandung cacat kehendak (syarat sahnya perjanjian).

“Dalam kebijakan ini juga selain telah terjadi ‘penyalahgunaan keadaan’ yang dilakukan oleh pemerintah atas posisi konsumen yang tidak ada pilihan lain dalam menggunakan fasilitas publik dan sekaligus hal ini sebagai ‘penyalahgunaan wewenang,” keluh dia.

Di samping itu, penerapan kebijakan ini juga dapat dianggap sebagai persoalan ketidakadilan karena tidak sebanding dengan kualitas pelayanan. Dengan kata lain, ketentuan yang ada ini ditujukan agar masyarakat tidak menjadi objek kekuasaan negara dan keputusan Pemerintahan tidak dilakukan dengan cara-cara otoriter, arogan dan sewenang-wenang.

Leave a Reply